Friday, March 30, 2007

Statistik perbandingan jenis kelamin dan poligami

Analisa menarik soal perbandingan antara laki-laki dan perempuan di
Indonesia; memecah mitos poligami.

On 11/12/06, ari a. perdana wrote:
>
> Lupakan sementara soal halal-haram atau legal-tidaknya poligami.
> Mari kita lihat apakah 'maksud baik' dari poligami punya dasar atau
> relevansi. Tujuan sosial dari poligami (sering dilontarkan) adalah
> 'menolong' perempuan.
>
> Asumsi dasar:
> ---------------------
> 1. Cara yang paling efektif untuk 'menolong' kaum perempuan adalah
> dengan 'menyediakan' suami sebagai pelindung dan pencari nafkah.
>
> 2. Secara implisit diasumsikan bahwa jumlah perempuan lebih banyak
> dari laki-laki sehingga terjadi 'kelebihan penawaran' dari perempuan
> (dan sebaliknya, 'kelebihan permintaan' atas laki-laki).
>
> Fakta:
> ---------
> 1. Sex ratio (laki2/perempuan) di Indonesia, berdasarkan Sensus
> Penduduk 1980 = 101. Untuk setiap 100 perempuan ada 100 laki2. Dalam
> angka absolut, ini sama dengan 'surplus' laki-laki lebih dari 630
ribu
> (tahun 2000).
>
> 2. Sex ratio untuk Muslim saja juga sama dengan nasional = 101 (jika
> umat Islam dari seluruh usia dipasangkan, masih ada sekitar 460 ribu
> laki-laki Muslim yang tidak mendapat pasangan di tahun 2000).
>
> 3. Rasio gender menjadi terbalik (populasi perempuan lebih banyak
dari
> laki-laki) di usia 60 tahun ke atas. Untuk populasi Muslim di atas 60
> tahun, rasionya adalah 90 laki-laki untuk setiap 100 perempuan.
> Semakin tua kelompok usia, semakin banyak populasi perempuan. Ini
> adalah kecenderungan yang berlaku di seluruh dunia, karena memang
> tingkat harapan hidup perempuan lebih tinggi.
>
> 4. jumlah perempuan juga lebih banyak di antara mereka yang
> berpendidikan rendah (lulusan SD atau di bawahnya), khususnya yang
ada
> di pedesaan. Tanpa memandang agama, rasio gender bagi mereka yang
> paling untung hanya lulus SD adalah 88 di perkotaan dan 94 di
> pedesaan.
>
> 5. Lebih banyaknya populasi laki-laki dibanding perempuan bukan hanya
> terjadi di Indonesia. Ini adalah kecenderungan umum di negara-negara
> berkembang. Bahkan, negara-negara Muslim justru punya rasio gender
> yang sangat tinggi. Rasio gender Di Saudi Arabia, Oman, Bahrain dan
> Uni Emirat Arab lebih dari 120. Bahkan di Kuwait dan Qatar, rasionya
> lebih dari 150, tertinggi di seluruh dunia. Di dua negara yang dalam
> banyak literatur menjadi rujukan masyarakat paling bias gender, China
> dan India, rasio gendernya hanya 105, masih lebih rendah dibandingkan
> negara-negara itu.
>
> Implikasi:
> --------------
> 1. Tidak betul bahwa perempuan lebih banyak dari laki-laki.
>
> 2. Fakta statistik ini cukup untuk menggugurkan asumsi yang mendasari
> argumen 'motif sosial' poligami.
>
> 3. Jadi, kalaupun poligami itu hendak dicari justifikasinya secara
> ekonomi, maka harusnya para pria yang ingin berpoligami memperistri
> janda miskin berusia 60 tahun ke atas dan setinggi-tingginya hanya
> lulusan SD. Barulah poligami memiliki relevansi ekonomi sebagai cara
> untuk menolong perempuan lepas dari kemiskinan. Bukan gadis atau
janda
> muda (apalagi yang lulusan PTN dengan IPK 3,6 yang secara statistik
> tidak mungkin termasuk warga miskin).
>
> 4. Meskipun demikian, apakah poligami adalah cara paling efektif?
> Kenapa tidak mekanisme subsidi, zakat atau transfer langsung?
>
> 5. Kalau argumennya adalah mereka tetap butuh suami sebagai kepala
> keluarga, kenapa tidak membantunya dengan mencarikan janda-janda
> miskin suami yang belum beristri dan kemudian menjadikannya keluarga
> angkat untuk dinafkahi?
>
> Kesimpulan:
> ------------------
> 1. Argumen 'motif sosial' poligami tidak punya justifikasi empris.
> Setidaknya relevansinya di era sekarang tidak ada.
>
> 2. Mungkin (mungkin!) poligami halal. Tapi at best, secara sosial ia
> adalah tindakan sia-sia. Kalau untuk hal2 lain Islam mengatakan bahwa
> yang sia-sia bisa menjadi haram, sama halnya dengan poligami toh?
>
> 2. Yang masih tersisa adalah argumen 'motif syahwat.' Bukan motif
sosial.
>
> Catatan kaki:
> -------------------
> 1. Data yang digunakan adalah data SP 2000. Kita bisa beranggapan
> rasio gender tidak akan banyak berubah dalam 6 tahun. Tapi kalaupun
> berubah, trend justru menunjukkan bahwa makin lama jumlah laki2 makin
> banyak, dan sex ratio makin condong ke laki2 ('surplus' laki2 makin
> besar dari tahun ke tahun).
>
> 2. Di tahun 70-80an memang jumlah penduduk perempuan lebih banyak.
> Tapi paling rendah, rasionya hanya sekitar 97 perempuan per 100
> laki-laki. Secara statistik ini tidak cukup untuk mendukung hipotesus
> 'surplus perempuan.'

WANITA = PEREMPUAN

Gwe sLalu berpendapat mulia PEREMPUAN dibanding WANITA. Karena menurut bahasa sansekerta WANITA adalah Pemuas nafsu Sex, sedangkan PEREMPUAN merupakan Air suci dari surga yang menyejukkan, bahkan gwe lebih senang di panggil sebagai PEREMPUAN.

Tapi seTeLah gwe diskusi dan mendapatkan kata2 yang bagus...yang gwe pikir bisa merubah persepsi kawan2...

WANITA / PEREMPUAN tercipta dari tulang rusuk laki-laki, bukan dari Kepala tuk dijadikan Tuan dan juga bukan dari Kaki tuk dijadikan Alas namun tempatnya disisi Laki-laki tuk dilindungi..

maksudnya bukan dari kepala adalah bukan tuk ditakuti, kan ada istilah ISTI ( Ikatan Suami Takut Istri ) & bukan dari kaki adalah bukan tuk diperlakukan seperti pembantu atau pesuruh namun dijadikan Partner bahkan untuk dilindungi.

diPikir2 ada benernya juga, bukan jadi cengeng butuh perlindungan tapi gak bisa dipungkiri, sekuat, setegar, & semandirinya Qta pasti butuh yang namanya Laki-laki...gak boHong deh...gwe dah buktiin kok...

jadi WANITA = PEREMPUAN (equal) gak ada bedanya. Dua2nya sama MULIAnya....malah bikin gwe bangga dilahirkan sebagai PEREMPUAN / WANITA...ya gak....

GirL PoWEr.......

-dkp-

Cinta itu

Tak ada satu pun dari Qta yang tahu kapan datangnya cinta
dan tanpa disadarai Qta tLah ditinggalkan olehnya

Disaat cinta datang mengetuk pintu hati
Secepat itu juga ia pergi meninggalkan Qta sebelum pintu itu dibuka
sebelum Qta sempat mempersilahkannya untuk masuk walau sejenak
walau ia hadir hanya untuk mengobrak-abrik hati Qta..

-dkp-

Homoseksualitas: Mengapa Dianggap Kejahatan?

Pada zaman baheula, homoseksualitas dianggap dapat merugikan spesies yang bernama manusia. Kematian bayi dan ibu yang melahirkan amat tinggi, sedangkan teknologi tidak memadai dan alam begitu buas. Belum lagi persaingan antarspesies—berapa banyak jenis mamalia lain di hutan yang dengan senang hati memusnahkan manusia? Seperti juga mamalia yang lain, salah satu naluri yang terkuat mereka adalah mempertahankan hidup mereka sendiri, juga keturunan mereka. Demi mempertahankan hidup, manusia harus berkembang biak.


Untuk itulah, heteroseksualitas menjadi amat penting artinya. Dengan hubungan seksual antara lelaki dan perempuanlah, manusia dapat berkembang biak. Dalam keadaan seperti ini, aktivitas yang tidak mendukung keselamatan dan kesejahteraan golongan, dengan mudah dapat dituding sebagai kejahatan. Homoseksualitas menjadi bentuk pengkhianatan, walaupun hubungan homoseksualitas telah ada sejak zaman dahulu kala.


Akan tetapi, kejahatan itu seringkali amatlah relatif dari zaman satu ke zaman lainnya, dari suatu daerah ke daerah lain. Membaca buku Pramoedya Ananta Toer dianggap sebagai suatu dosa besar pada masa Orde Baru. Tapi, sekarang, buku-buku Pram jadi ngetop. Di India, sampai pada awal abad ke-19, para janda dari kasta tinggi membakar diri hidup-hidup setelah suami mereka meninggal. Para perempuan yang tidak berani masuk dalam api dituduh pengecut dan pengkhianat, bahkan terkadang dianggap berdosa karena tidak menunjukkan kesetiaan pada suami mereka. Sekarang, sudah banyak orang India yang menganggap bahwa sati seharusnya dilarang keras.


Ada juga yang menganggap bahwa homoseksualitas tidak normal dan sesuatu yang tidak normal patutlah dihukum. Tetapi, berapa banyak anak yang dianggap tidak normal? Apakah mereka juga patut dihukum? Apakah anak yang lahir bindeng, harus dihukum karena kebindengannya? Bukankah kebindengan dianggap tidak normal hanya karena kebanyakan orang tidak bindeng? Bukankah kebindengan bisa menjadi sesuatu yang indah?


Bagaimana dengan kegiatan homoseksualitas yang menjijikkan? Dapatkah kita memandang seorang lelaki atau perempuan bercumbu dengan sesama jenis? Orang berkulit hitam juga sempat dipandang menjijikkan di benua Amerika dan Eropa. Bahkan toilet dan tempat-tempat umum untuk orang kulit hitam dibedakan supaya mereka tidak “mencemari” orang kulit putih. Yang menyebabkan mereka dipandang menjijikkan adalah keinginan orang kulit putih untuk menjadi superior. Terkadang, bukankah keinginan para heteroseksual untuk merasa superiorlah yang menjadikan homoseksual menjadi menjijikkan?


Tentu saja saya amat sangat berterimakasih pada para nenek moyang saya yang berabad-abad telah menjalin hubungan heteroseksual dengan penuh dedikasi, sampai akhirnya saya nongol. Tapi keberadaan saya sekarang akan sia-sia, bila saya tidak diterima dan diperlakukan dengan baik oleh keluarga dan masyarakat saya. Bukankah sudah saatnya homoseksual diterima dengan baik oleh masyarakat sehingga mereka tidak perlu menyembunyikan identitas mereka?*