Monday, June 26, 2006

TRAFIKING (PERDAGANGAN) PEREMPUAN DAN ANAK

TRAFIKING (PERDAGANGAN) PEREMPUAN DAN ANAK

Trafiking perempuan dan anak merupakan pelanggaran berat HAM yang mengakibatkan penderitaan fisik dan mental korban, mengganggu tumbuh kembang anak, tertular penyakit seksual kelamin dan menghilangkan masa depan.
Trafiking merupakan segala tindakan yang mengandung satu atau lebih; tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah / Negara, pemindahan tangan, pemberangkatan, penerimaan, dan penampungan sementara, dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan verbal atau fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, pemanfaatan posisi kerentanan, memberikan / menerima pembayaran / keuntungan, dimana perempuan dan anak-anak digunakan untuk tujuan pelacuran, exploitasi seksual, buruh migrant legal maupun illegal, adopsi anak, pekerja jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, industri pornografi, pengedar obat terlarang, pemindaha organ tubuh serta bentuk exploitasi lainnya.
Kita semua tahu bahwa tiap manusia mempunyai hak asai yang melekat pada dirinya sebagai manusia. HAM itu sendiri tercantum dalam Deklarasi umum HAM PBB-1948 dan UU 39 th 1999 tentang HAM yang menyebutkan pada dasarnya manusia mempunyai :
- Hak untuk hidup
- Hak untuk tidak disiksa
- Hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani
- Hak untuk tidak diperbudak
- Hak reproduksi, dll
Nah…dalam trafiking sudah terjadi ancaman, penyiksaan, penyekapan, kekerasan seksual yang kesemuanya merupakan pelanggaran HAM.
Trafiking di Indonesia belum ada kepastian datanya karena ini merupakan perdagangan gelap yang merupakan fenomena gunung es. Yang nampak hanya kasus-kasus yang dilaporkan, padahal kasus sebenarnya jauh lebih besar. Diperkirakan 30% dari jumlah pelacuran adalah anak korban trafiking (UNICEF 1998) dan pada tahun 2000, kepolisian RI melaporkan 1683 kasus perdagangan perempuan.
Bentuk-bentuk trafiking di Indonesia..dijadikan pelacur, pengemis, pengedar obat terlarang, korban pedofilia, istri kontrak, pornografi, adopsi, PRT dengan jam kerja panjang, dll.
Sedangkan faktor yang menyebabkan adanya trafiking…Kemiskinan, Pendidikan Rendah, Pengangguran, Ketahanan keluarga yang rapuh, Penegakan hokum yang belum konsisten, Konsumerisme, Ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan, Dorongan penyiaran dan tulisan porno di media, dll.
Dengan faktor-faktor beragam itu, upaya penghapusannya pun memerlukan upaya yang menyeluruh, seperti…Promotif dan preventif termasuk didalamnya kegiatan pemberdayaan keluarga dan peningkatan cakupan dan kualitas pendidikan, Perlindungan dan penegakan hokum bagi korban, Kerjasama Internasional, serta Peningkatan partisipasi perempuan dan anak/diri sendiri untuk mencegah dan menghapuskan trafiking.
Oleh sebab itu selamatkan Perempuan dan Anak agar tidak diperdagangkan.

Jakarta, 19 Juli 2006
-dEe-

Monday, June 19, 2006

TUBUH KAMI DIPERSALAHKAN

Kami tidak pernah setuju dengan adanya pornoaksi dan pornografi namun ketika peraturan yang dibuat justru mengancam kami, jelas kami berontak…
Kami bukan perempuan binal, cabul atau yang lainnya, kami hanya tidak ingin tubuh kami dipersalahkan dan dimintai pertanggungjawaban atas merosotnya moral bangsa ini.
Kami menolak dikatakan bahwa tubuh kami adalah pusat dan sumber dari semuu kejahatan yang terjadi. Bila terjadi suatu tindak pelecehan bahkan sampai tindak perkosaan, kami sebagai korban tetap sebagai pihak yang salah karena lah yang mengundang terjadinya tindakan tersebut.
Kami tidak mau didiskriminasikan dan kami tidak ingin tubuh kami dieksploitasi secara berlebihan.
Kami berhak atas tubuh kami…lalu mengapa harus diatur oleh Negara dan Pemerintah.
Kami dituduh sebagai perusak moral bangsa. Tubuh kami dijadikan ukuran moral laki-laki, tubuh kami disebut sebagai pusat terjadinya tindak kriminalitas dan kejahatan.
Sungguh, Malang benar nasib kami.....
Entah kepada siapa kami harus mengadu dan meminta perlindungan…

-dee-

Membongkar Mitos Ibu...

“MEMBONGKAR MITOS IBU”

Diantara sekian banyak mitos yang selama ini membingkai persepsi kita mengenai realitas, mitos-mitos gender dan identitas seksual mungkin merupakan mitos yang paling ilusif, paling dianggap natural (Solomon, 1988:48). Kita biasa mengasumsikan bahwa identitas seksual merupakan sesuatu yang given, yang tidak ditentukan secara cultural, melainkan secara natural. Mitos-mitos gender pada umumnya berupa perangkat2 ciri psikologis dan sosial yang berstruktur biner dan hierarki, yang disebut oleh Hellene Cixous sebagai pemikiran biner patriarchal (patriarchal binary thought), misalnya laki-laki rasional-perempuan intuitif; laki-laki aktif-perempuan pasif; laki-laki mencari nafkah-perempuan merawat akan dirumah; dan seterusnya.Dalam hal ini tercakup sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa Locus kepuasan hidup laki-laki adalah pekerjaan atau kariernya, sementara kebahagiaan perempuan adalah rumah (-tangga) dan keluarga. Kepercayaan tradisional bahwa “tempat perempuan adalah di dalam rumah”.
Ada sebuah mitos yang tak kalah hegemonisnya adalah bahwa untuk menjadi seorang ibu yang sesungguhnya perempuan harus (mampu) melahirkan anaj, secara ‘normal’ pula. Bila belum pernah melahirkan seperti itu atau tidak mempunyai anak, belum lengkaplah ke-“wanitaan”-nya. Ibu sejati adalah menjadi ibu secara biologis.
Berikit beberapa kerancuan konseptual ketika kita hendak mendefinisikan sosok “ibu”. Pertama, bahwa peran ibu hanya dapat dimainkan oleh jenis kelamin tertentu, yaitu perempuan yang pernah melahirkan. Kerancuan kedua masih berhubungan dengan yang pertaa, terlihat dari anggapan bahwa seorang ibu adalah perempuan yang mengasuh anak-(anak)nya. Definisi ini dikatakan rancu karena buta terhadap perbedaan yang tegas antara ibu biologis (biological mother) dan ibu sosial (social mother).
Ann Oakley (1974; via Tong,1989:84-87), seorang feminis radikal, mencoba menolak dengan berargumentasi bahwa peribuan merupakan sebuah mitos yang disandarkan pada kepercayaan lapis tiga, yaitu bahwa (1) semua perempuan harus menjadi ibu, untuk sekedar mendapatkan harga dirinya sebagai “wanita” atau “ibu sejati”; (2) semua ibu membutuhkan anak, ini dikaitkan dengan “naluri keibuan” yang rupanya dikonstruksi secara cultural dan kecakapan untuk memainkan peran sebagai ibu ternyata harus dipelajari lebih dulu, “Mothers are not born; they are made,”; dan (3) semua anak membutuhkan seorang ibu, pada kenyataannya anak-anak tidak semata-mata membutuhkan ibunya lebih daripada ayahnya. Yang dibutuhkan seorang anak adalah orang (-orang) yang bisa menjalin relasi intim dengannya yaitu mereka yang dapat dipercaya dan bersedia menjadi sandaran, yang mau mengasuh dan merawatnya tanpa jemu, mau tahu dan menghargai keunikannya, serta senantiasa berada disisinya apabila sedang dibutuhkan. Kemampuan ini tentu tidak hanya monopoli perempuan.
Peribuan biologis bukanlah suatu dorongan naluriah. Kebutuhan dan/atau keharusan menjadi ibu bagi perempuan dikondisikan secara sosial dan cultural, serta sama sekali tidak ada hubungannya dengan sel telur dan rahim yang dimilikinya. Menjadi ibu bukanlah kodrat, melainkan sebuah konstruksi cultural, suatu mitos dengan kekuatan dominatif tertentu. Oleh karenanya sebagai konsekuensinya selain kedua dimensi peribuan (biologis dan sosial) perlu diberi batas yang tegas dan disosialisasikan terus-menerus, konsep tentang hal itu perlu dibersihkan dari bias gender-nya, yakni sebagai semata-mata hubungan yang didalamnya seorang manusi, baik perempuan atau laki-laki, mengasuh dan memelihara manusia lain. Dengan demikian, mitos patriarchal ini bakal terbongkar makna-makna ideologisnya.

-dee-